Tidak
Normal Itu Istimewa
“Lulus, lulus, lulus,,, Hore,, Asyik…!” Hiruk pikuk yang terdengar dari
teman-teman seketika berhenti saat suara ramai tersebut dikalahkan oleh suara
speaker dari Abah. “Malah lunjak-lunjak tidak jelas! Muslim, kan? Ayo sujud
Syukur!”. Munggis kebetulan berdiri di kerumunan paling depan. Kaget dengan
suara keras abah langsung dia sujud, padahal kerumunan anak kelas tiga MTs
Assalam lain yang baru saja memperoleh berita gembira tersebut masih tidak
melakukan apa apa, diam. “Kamu menghadap kemana? Sujud Syukur itu menghadap kiblat!”
Interupsi Abah terhadap sujud Munggis, tak lebih dari 2 detik tawa teman-teman
meledak dan riuh ramai pun terdengar lagi. Arini teman karibku pun tak mau
kalah. Mengimbangi teman-teman aku ikut menyumbang senyum geli saja. Seingatku baru
beberapa minggu yang lalu Pak Jazuli, sang guru Fiqih, dan Ustadz-ustadz lain
menguji kemampuan siswa MTs Assalam Kudus dalam hal pratikum ibadah, yaitu
mulai dari tes Wudhu, Sholat Fardhu, Tayamum, Sujud Syukur, dan test-test
ibadah lain. Namun sekarang sudah ada yang lupa, Mungkin durasi ingatan yang
pendek karena jarak praktek. “Kalian ini gimana, ada teman yang salah bukan
diingatkan malah ditertawakan!” Sekali lagi, Abah mengalahkan kami dengan
speakernya, kami pun diam. Memang kharisma seorang Kiai Abah Ma’ruf Shidiq
benar benar luar biasa. Sudah belasan Negara berbeda beliau kunjungi.
Perjalanan beliau dalam mencari ilmu juga luar biasa dan penuh perjuangan. Mengayuh
sepeda berjarak belasan kilometer sejak masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah beliau
lakukan hingga beliau akhirnya mondok di Madrasah Qudsiyah, sebuah nama pondok
besar yang cukup dikenal oleh orang orang kudus.
Selang beberapa tahun Lulus dari pondok dan menyandang gelar Al-Hafidz,
beliau kemudian melanjutkan studinya di mesir melalui beasiswa DEPAG. MTs.
Assalam pun dibangun setelah Abah kembali ke Indonesia. Mungkin karena latar
belakang pondok pesantrennya dulu beliau sekarang ingin memuliakan ustadz
ustadz lulusan pesantren. Tidak heran, sekolahku banyak sekali guru guru alumni
pesantren bahkan sebagian besar dari mereka tidak bergelar sarjana. Malah ada
yang tidak lulus SD. Namun jangan Tanya soal capabilitas dan kualitasnya, Sarjana
Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pun belum tentu bisa sehebat mereka.
Akhirnya kami semua disuruh Abah untuk berwudhu, persiapan sujud syukur.
Wudhu kan termasuk Syarat Sujud Syukur selain menghadap kiblat dan suci dari
hadats besar dan kecil. Kami semua
menuju tempat wudhu masing-masing. Tulisan Faucet kosa kata bahasa
inggris yang berarti keran masih betah diam disitu, diatasnya ada Mufrodat
Bahasa Arab صنبور yang mempunyai arti sama. Kedua kata tersebut menempel pada tembok
diatas keran. Hampir semua properti madrasah memang dihias sedemikian rupa.
Saya masih ingat pertama kali saya melihat tulisan tulisan ini adalah ketika
mau mendaftar sebagai siswa MTs Assalam, saat itu juga sore-sore. Tapi bedanya
sore ini aku tidak bersama Bapak, sudah 2 tahun lebih aku tidak bersamanya. “Ting,
mau ngelanjutin dimana”? Nita bertanya dari belakang, mendengar panggilan itu semakin mantap rasanya
saya mau meninggalkan sekolah ini. Pura-pura tidak mendengar saya mulai
berkumur, dan kemudian membaca niat sambil melakukan rukun kedua dalam wudhu,
yaitu membasuh wajah. Si Nita terus berkicau “Hey, ting, ditanya kok diam aja,
habis lulus mau lanjutin di sekolah mana”? Walaupun sudah dari SD dulu aku
biasa dipanggil seperti itu, tapi tetap sakit rasanya. Mungkin ia tidak tahu
kalau hal itu sangat menyakitiku. Aku cuek, meneruskan wudhuku, dan tidak
menggubris sama sekali pertanyaannya. Bukankah dalam wudhu dimakruhkan
berbicara, kan?
Setelah masuk masjid kuhadapkan wajahku ke arah kiblat, kulantunkan
niat “نويت سجدة
الشكر لله تعالى” (Nawaitu Sajdatasyukri lillahi ta’ala) kemudian
aku mulai berlutut. Kubenamkan wajahku diatas keramik putih. Lama mataku
terpejam, dengan khas hidung ini mengenali keramik masjid. Dahi ini terasa
dingin menempel pada lantai Masjid Assalam, dingin menjadi semakin dingin
tatkala tanpa ku sadari butir butir air mata jatuh dan sebagian membasahi pipi.
Diluar kontrol, bak sebuah DVD, otakku memutar momen-momen menyakitkan yang
pernah terekam dalam berlalunya waktu. Panggilan “kepiting” kepadaku oleh teman
teman sebaya semasa Sekolah Dasar masih tergambar jelas dalam video yang terus
memutar memori memori masa lalu. Kemudian otak ini mulai dipenuhi dengan
pertanyaan pertanyaan konyol. Dalam hati aku mulai berani bertanya, kenapa Engkau
ciptakan aku dengan keadaan jari seperti ini ya Allah? Kenapa Bapak belum
memberikan kabar semenjak kepergiannya ke Malaysia 2,5 tahun lalu? Kenapa aku
begitu berbeda dengan yang lain ya Allah?
Sore itu, aku menangis tersedu ketika teman teman mengekspresikan rasa
syukur mereka dengan sujud penuh khidmat, aku sendirian dalam sujudku mencoba
untuk protes dan memberitahu Tuhan bahwa semua hal yang terjadi pada saya tidaklah
adil. Masih sesenggukan dalam posisi sujud, hingga kurasakan ada seseorang yang
datang. Dia mengusap pundakku. Kuangkat kepalaku, dan mulai mencari sosok
tersebut yang ternyata dibelakang. samar samar karena tertutupi air bening yang
terus keluar dari mata ini kulihat Arini, kemudian dia melapangkan tangannya
dan memelukku.
Usai pengambilan surat tersebut Arini menemaniku berjalan menuju warung
Mak Paring, tempat yang biasa kami gunakan untuk menunggu Bus ketika mau
pulang. Di jalanan sekitar sudah tampak sepi dari anak-anak yang tadi mengambil
surat kelulusan di Masjid. “Bilang saja padanya Nid, kalau kamu tu tidak suka
dipanggil seperti itu” Desak Arini, sementara aku diam dan sesekali menoleh
padanya. Hanya suara langkah sepatuku yang bersaing dengan bunyi tak-tuk suara
sepatu Arini yang seolah saling berbicara. “Alasan karena kebiasaan sewaktu
kecil bukanlah sesuatu yang logis untuk diterima. Aku sendiripun juga pasti
akan sangat marah kalau dipanggil dengan nama seperti itu, wong nama
bagus-bagus Nidya Anggraini kok diganti kepiting” Arini terus berusaha menghiburku.
Dalam pikiranku timbul sebuah pertanyaan apakah saya memang layak dipanggil
jari kepiting?
Sore menjelang Maghrib aku sampai di rumah. “Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam, gimana nduk lulus to?” Tanya Ibu sambil menutup buku yang
dari tadi beliau baca dan kemudian berjalan kepadaku. “Iya Buk, Alhamdulillah”
Jawabku. “Alhamdulillah, tidak sia-sia
sepanjang malam kamu belajar nduk, lah dapat peringkat berapa, pertama lagi kah
kayak di kelas dua?” Ibuk bertanya sambil mengusap-usap rambutku. “Belum
dikasih tahu sama guru Buk, wong nilainya saja belum tahu, cuma surat
pemberitahuan kelulusan. Buk, Nidya ingin bertanya, boleh? Ini tentang
pertanyaan yang kemarin Buk” Ibu cepat mendekat dan memeluk erat diriku. Hangat,
damai, dan tenang kurasakan, “Nduk, tidak usah percaya apa yang dikatakan
Ibunya Arini, tidak ada hubungannya antara Bapak membunuh yuyu dengan itu
semua. Itu murni adalah ketetapan Allah nduk. Segala ketetapan Allah itu pasti
yang terbaik untuk manusia”. “Tapi tidak hanya Ibunya Arini Buk, hampir semua
tetangga disini bilang seperti itu” Balasku tak mau kalah.
Dalam hati aku berpikir kalau jari-jari tangan kanan yang hanya
berjumlah 3 buah adalah karena Bapak membunuh yuyu lebih dapat kuterima dari
pada apa yang dikatakan dokter yang membuat istilah sulit, Braki-braki atau
apalah, lupa namanya. Setidaknya aku merasa cukup puas dengan melemparkan semua
kesalahan itu ke Bapak yang pergi entah kemana. Allahuakbar Allahuakbar….
Berkumandang Adzan maghrib… “Kita ke masjid dulu saja yuk nduk, sholat!” ajak
Ibuk yang mulai tidak ingin melanjutkan perdebatan ini.
Malam itu pertanyaanku tidak terjawab oleh Ibuk, lagi. Ibuk terlihat
lebih sibuk dengan begitu banyak ketas kertas administrasi sekolah. Berbeda
dari dari malam malam sebelumnya, hal ini membuatku enggan mengganggu
konsentrasi pekerjaannya. Di dalam kamar aku memantapkan kembali niatku untuk
pergi sejauh mungkin dari lingkungan rumah dan sekolahku. Sesuai dengan rencana
awalku. Aku mulai tersenyum sendiri di dalam kamar membayangkan hal-hal indah dalam
hidupku, ketika aku akan berada dalam lingkungan dimana tak ada orang yang
mengenalku sebagai penderita Brakidaktil dan aku dianggap sebagai seseorang
yang normal. Malam ini, kurebahkan tubuhku diatas spring bed empuk. Kupejamkan mataku, kurasakan nyaman yang begitu nikmat,
seolah proses refreshing sedang dilakukan dalam tubuh ini. Satu dua kali aku
menguap, dalam hati berkata semua akan berubah ketika bangun nanti.
(Dua
Bulan Kemudian)
Hari Jum’at ini menggenapi 4
mingguku bersekolah di MAN 2 Kudus. Tidak ada sosok Ibuk yang selalu menyiapkan
apa yang aku butuhkan, masak sendiri, mencuci sendiri, tidur sendiri, pokoknya
melakukan semuanya sendirian. Hidup sebagai anak kost memang seperti itu. Aku
memilih Madrasah Aliyah tersebut adalah karena memang tidak ada teman-teman
yang dulu pernah aku kenal melanjutkan belajar di sekolah ku sekarang ini. Arini
Wulandari, sahabat dekatku, sekarang mondok di Jepara, mendalami Al-Qur’an dan
Bahasa Arab. Ahmad Munggis, laki-laki tulen purwodadi yang dulu salah ketika
sujud syukur, pergi ke Kalimantan ikut Ayah dan Ibunya yang bekerja disana.
Lingkungan yang mengelilingiku sekarang benar-benar baru, mulai dari
teman, guru, dan tetangga, begitupun juga dengan aktivitasku. Sejak aku masuk
SMA N 1 Kudus, sekitar 30 hari lebih aku selalu memakai sarung tangan bermata
dua. Hal itu cukup efektif untuk menutupi jari kepitingku yang berbeda dengan
orang normal lain. Tak ada yang pernah menanyakan kenapa sarung tangan bermata
dua selalu menempel di kedua tanganku. Cuma kadang ada yang heran melihatku
menulis menggunakan tangan kiri. Mungkin mereka mengira aku kidal. Terserahlah,
yang penting bukan Jari Kepiting. Aku merasakan menjadi seorang yang normal
sekarang. Alangkah indahnya hidup ini. Akan terus kunikmati hidup baruku ini.
Semoga semua berjalan indah.
“Sebelum pulang, sholat Dzuhur berjama’ah di masjid sekolah dulu yuk
Nid”? Ajak Santi, teman sebangkuku. “Maaf, tapi…” belum sempat kalimatku selesai Santi sudah berseru lagi
“Alah, sekali-kali dong, masak ada gak bisa terus…” “beneran aku tidak bisa
San, ada banyak pekerjaan di kost,” sanggahanku. “Ya udah kami bantu deh, habis sholat nanti
kita berdua main ke kostmu plus bantu pekerjaan-pekerjaanmu itu” Ani malah
ikut-ikutan. Aku mulai bingung, disisi lain harus menemukan alasan dengan cepat
dan masuk akal untuk menghindari ajakan mereka. Tak boleh ada yang tahu lagi
kalo dibalik sarung tangan ini adalah sebuah aib yang besar dalam hidupku. Akhirnya
tanpa ku duga-duga suara ringtone “InsyaAllah” oleh Maher Zaen berbunyi dari
HPku, menandakan bahwa ada yang seseorang yang menelfon. “Alhamdulillah, thanks
God for saving me” Kataku dalam hati. “Sebentar ya, malah Ibuk nelfon nih”
Ibuk:
Assalamualaikum, gimana kabarnya? Kapan kamu pulang? Besok tanggal merah to?
Pulang ya nduk!”
Aku:
Wa’alaikumsalam, Pertanyaannya seperti polisi Buk, hehe, ini mau pulang,
Alhamdulillah baik, lah Ibuk sendiri gimana? InsyaAllah Nidya pulang siang ini.
Ibuk: Oalah,
lah kok tidak bilang-bilang to, kan bisa Ibuk jemput. Alhamdulillah disini Ibuk
sehat kok, Bu Inah juga sehat, kangen sama kamu katanya.
Aku: Mau
pulang sendiri Buk, kan mau latihan mandiri. Iya, salam juga buat Bu Inah, lupa
malah aku.
Ibuk: Lah
disana betah to? Sudah punya temen baru belum? Pelajarannya gimana?
Aku: Yah
Buk, kan sudah tak jawab semua itu kemarin-kemarin pas sms-an. Lah Arini gimana
Buk?
Ibuk:
Hehehe, Arini belum pulang sejak berangkat ke Jepara. Kamu sering
kontak-kontakan sama dia kan?
Aku: Enggak
Buk, eh Buk, ni aku ditungguin temen-temenku (bisikku lirih di HP).
Ibuk: Hmm ya
sudah, Ibuk nanti tunggu di rumah ya, hati hati ya nduk,,
Aku: Iya
Buk, Assalamulaikum…
Ibuk:
Wa’alikumsalamwarahmatullaiwabarakatuh...
Pembicaraan saya akhiri dan telefon saya masukkan saku. Kulihat 2
perempuan tadi masih setia menunggu. “Maaf ya, Ibuk malah nyuruh pulang”.
“Yaudah Nid, Hati-hati! Kapan kapan juga gak apa apa main ke kostmu” Kata Ani,
“and salam aja ya buat keluarga dirumah!” diikuti santi, “Oke, sip deh,”
balasku diikuti gesture tangan dengan jempol keatas.
Hari demi hari yang kulalui terasa semakin indah dan berwarna di
lingkungan baruku. Bahkan sekarang aku sudah semakin akrab dengan Ani dan Santi.
Saking akrabnya, kami selalu pergi bertiga bersama-sama, ke kantin, perpus,
supermarket, dan tempat-tempat favorit lain. Pernah Ani bertanya mengenai
sarung tangan yang selalu melekat pada tanganku, kujawab saja “Aku alergi”.
Suatu hari, peristiwa yang tak pernah kuduga sama sekali terjadi.
Pelajaran Sejarah dari pak Suyanto adalah waktu yang sangat sia-sia jika tidak
digunakan untuk tidur, bagaimana tidak? gurunya cuma nyuruh murid mencatat
kemudian duduk manis di kursi sambil buka buku, emang gak salah kan? Tanpa
kusadari ada seseorang yang menarik lepas perlahan-lahan sarung tanganku. Saat
aku bangun sarung tangan kananku telah terlepas dan kulihat keterkejutan dari
Santi dan Ani. Aku tidak tahu harus berbuat apa, takut, marah, dan malu
bercampur jadi satu. Kubereskan semua barang barangku secepat mungkin dan
langsung aku meninggalkan kelas. Semua teman-teman keheranan melihat tingkahku
yang tiba-tiba. Aku sempat menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju mataku.
Bersamaan dengan terus menerusnya air mata yang mengalir jatuh aku keluar
berlari secepat dan sejauh mungkin mungkin yang aku bisa. Sebentar sempat
kudengar suara Santi dan Ani yang memanggil-manggil. Telinga ini berpura-pura
tak mendengar dan kaki ini terus berlari. Luka-luka masa lalu mulai terkuak
lagi.
Gambaran seorang anak kecil yang sering diejek jari kepiting. Seorang
anak yang hanya bisa melihat teman-temannya bermain kasti dan bersepeda ria.
Karena jangankan memegang Stick kasti, memegang setang sepeda saja tiga
jari pendek ini tidak bisa. Begitupun juga dengan menulis, ku membutuhkan waktu
yang lamanya diatas normal untuk berlatih menulis, karena memang menulis
menggunakan tangan kiri bukan hal mudah bagiku. Siang itu aku putuskan untuk pulang
ke rumah. Air mata terus mengalir sepanjang perjalanan pulang.
(Sampai
di rumah)
Dunia kembali terasa nyaman ketika aku memeluk Ibuk. Ku hiraukan
pertanyaannya dengan tangisanku yang seolah tiada henti. Namun beliau tak
menyerah. Dan akhirnya kuceritakan semuanya. “Aku sudah tidak mau sekolah lagi
Buk, malu.... Aku ini seorang gadis yang tidak normal Buk, tidak normal! Kenapa
Tuhan begitu tidak adil Buk? Kenapa banyak para pencuri di dunia ini dikasih
tangan yang normal, padahal dia gunakan untuk mencuri? Banyak para pembunuh
diberikan keleluasaan untuk memegang pistol? Kenapa Buk? Sedangkan saya bahkan
makan saja harus menggunakan tangan kiri? Apakah saya ini lebih rendah dari
pencuri dan pembunuh”? “Sudah Nduk, sudah, tidak perlu lagi dilanjuktan
ceritanya, masih ada Ibuk Nduk, kamu tidak sendirian, ada Ibuk yang selalu
menemanimu!” Ibuk menenangkanku kemudian memberikanku segelas air. Ku tenggak
habis semua air di gelas. Segar kurasakan air mulai mengalir masuk ke
tenggorokan, membuatku lebih baik. “Nduk, besok Ibuk ajak ke rumah temen Ibuk,
ada seseorang yang Ibuk ingin kamu temui”. Malam itu Ibuk menuntunku ke tempat
tidur, kemudian kami tidur bersama.
Pagi-pagi sekali Ibuk mengajaku pergi ke kabupaten tetangga, yaitu Pati.
Mobil Ibuk melewati gapura besar bertuliskan “Pati Bumi Mina Tani”. Selain
menandakan kalau sudah sampai di Pati, perjalanan ke kabupaten ini juga adalah
yang pertama bagiku. Otakku terus bertanya-tanya mau kemana sebenarnya Ibuk
membawaku. Kurang lebih 2,5 jam akhirnya kami sampai di desa Guyangan kecamatan
Winong Kabupaten Pati. Ibuk berhenti di sebuah rumah yang cukup besar bercat
putih.
Kita masih di depan rumah dan Ibuk masih sibuk membunyikan bel masuk. “Hewiting,
hewiting, hewiting…” Apa? Samar samar kudengar ada yang memanggil-manggil
kepiting. Beruntungnya ada sebuah jeruk jatuh dari pohon menggelinding kearahku,
dengan kecepatan kilat kuambil jeruk dan sekuat tenagaku menggunakan tangan
kiri kulemparkan jeruk kearah datangnya suara. Dan sebuah jeruk sukses mendarat
di kepala seorang pemuda. “auh hei, awha hang au lhauan?” dia bicara tidak
jelas. “heawha au mehewarhu”? “Ternyata dia tidak bisa bicara” kagetku dalam
hati. Dia semakin mendekat. “Kenapa mengejekku”? tanyaku penuh selidik, “Awha
wwhauwu?” dia malah balik bertanya, tiba tiba Ibuk bicara “ Nidya stop,, ini
Faiz anaknya teman Ibuk, dia tidak mengenalmu sebelumnya, bagaimana mungkin dia
menghinamu, lihat apa yang dia bawa” Kulihat tangan kanannya memegang seikat
kepiting dan oh akhirnya aku sadar. “Maaf, maaf, mohon maaf sekali, saya kira
kamu Adik kelasku dari MTs dulu, aku tidak bermaksud menyakitimu, sekali lagi
maaf ya,”? mohonku sambil berulang ulang membunggkukkan tubuh. “Hapapa, akhu
haik haik aja” itu adalah pengalaman pertama dalam hidupku berbicara dengan
orang seperti itu. Aneh rasanya, ada ketukan-ketukan kecil kurasaakan dalam
hati. Seolah mau mengungkapkan sesuatu. Yang kurasakan saat itu adalah perasaan
lega dan ketukan-ketukan itu”
“Hilahan
mahuk!...” Pemuda yang kata Ibuk bernama Faiz mempersilahkan masuk,
Astaghfirullahaladzim… kali itu aku mengangis. Bukan tangisan-tangisan
seperti sebelumnya yang disebutkan diatas. Ini adalah tangis syukurku kepada
Allah atas nikmat yang begitu besar dalam diriku. Di depanku kulihat anak anak dengan
berbagai keterbatasan mereka. Seorang anak kecil buta yang duduk sendirian
asyik membaca dengan tangan meraba-raba kertas bertitik-titik, simbol huruf
Braille. Durhakanya diriku ya Allah, engkau masih memberiku kedua mata yang
lengkap. Masih bisa kunikmati segala ciptaanMu dengan mata ini. Sementara anak
laki-laki buta itu, bahkan harus menggunakan tangannya untuk membaca? Coba lihat
siapa yang normal? Gadis yang duduk di kursi roda lantang berteriak “Mas faiz
bawa kepiting!!!” dengan tangannya dia mendorong roda di kursinya dan melihat
denan dekat kepiting yang dibawa Faiz. Teman-temannya yang lain menyusul.
Ada sekitar 15 anak dengan keterbatasan yang berbeda-beda. Mereka semua
bermain dan beraktivitas seolah dunia adalah milik mereka. Tidak ada kepedihan,
rasa putus asa, dan kesendirian dalam diri mereka. Yang bisa kutafsirkan dari
mereka adalah kebahagiaan karena masih diberikan kesempatan untuk menikmati
nikmatnya bernafas, nikmatnya kebersamaan, dan nikmatnya hidup.
Astahgfirullahaladzim… bukankah dulu Abah pernah menyampaikan sebuah Hadits Undzuru
ila man asfala minkum wa la tandzuru ila man fauqakum, fainnahu ajdaru an la
tazdaru ni’matallahi alaikum.( Lihatlah kondisi orang yang martabatnya di
bawah kalian, jangan sebaliknya, melihat orang yang derajatnya di atas kalian.
Yang sedemikian itu lebih layak, agar kalian tidak merendahkan kenikmatan Allah
yang telah dianugerahkan kepada kalian). Apa yang membuatku jadi pelupa seperti
ini? Ampuni aku ya Allah yang telah durhaka ini. Aku sekarang tahu maksud Ibuk
membawaku kemari. Terima kasih Buk. Sekarang sudut pandangku sudah berubah
total.
Aku teringat pada Pak Hamid, sang guru Bahasa Inggris, juga sering
menceritakan kisah kisah inspiratif. Yang masih teringat adalah lahirnya huruf
Braille dari seorang yang buta dan Alexander Geraham Bell, sang penemu telegram,
dulunya juga seorang yang tuli. Tidak ada alasan bagiku untuk berputus asa dan
tidak syukur padaMu ya Allah… Aku sadar bahwa hanya sedikit orang yang bisa
menulis dengan tangan kiri, tapi aku bisa, dan itu luar biasa. Aku juga sadar bahwa
tidak bisa memegang stick permainan kasti membuatku punya waktu luang
lebih untuk belajar sehingga sering mendapatkan juara kelas. Terima kasih ya
Allah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya terjawab, dan ternyata
ketukan ketukan sedari tadi adalah ini. Pagi menjelang siang itu, aku berlari
mengambil air Wudhu, kemudian ku lakukan Sujud Syukur sekali lagi. Mengganti
sujud syukur yang belum sempurna beberapa bulan silam. Terima kasih ya Allah,
aku benar benar sadar sekarang kalau tidak normal itu bukanlah aib sebaliknya
tidak normal itu adalah sebuah keistimewaan.