ppt

ppt
Nahar Nurun Nafi'

Tuesday, June 3, 2014

Cerpen: Tidak Normal Itu Istimewa

Tidak Normal Itu Istimewa
“Lulus, lulus, lulus,,, Hore,, Asyik…!” Hiruk pikuk yang terdengar dari teman-teman seketika berhenti saat suara ramai tersebut dikalahkan oleh suara speaker dari Abah. “Malah lunjak-lunjak tidak jelas! Muslim, kan? Ayo sujud Syukur!”. Munggis kebetulan berdiri di kerumunan paling depan. Kaget dengan suara keras abah langsung dia sujud, padahal kerumunan anak kelas tiga MTs Assalam lain yang baru saja memperoleh berita gembira tersebut masih tidak melakukan apa apa, diam. “Kamu menghadap kemana? Sujud Syukur itu menghadap kiblat!” Interupsi Abah terhadap sujud Munggis, tak lebih dari 2 detik tawa teman-teman meledak dan riuh ramai pun terdengar lagi. Arini teman karibku pun tak mau kalah. Mengimbangi teman-teman aku ikut menyumbang senyum geli saja. Seingatku baru beberapa minggu yang lalu Pak Jazuli, sang guru Fiqih, dan Ustadz-ustadz lain menguji kemampuan siswa MTs Assalam Kudus dalam hal pratikum ibadah, yaitu mulai dari tes Wudhu, Sholat Fardhu, Tayamum, Sujud Syukur, dan test-test ibadah lain. Namun sekarang sudah ada yang lupa, Mungkin durasi ingatan yang pendek karena jarak praktek. “Kalian ini gimana, ada teman yang salah bukan diingatkan malah ditertawakan!” Sekali lagi, Abah mengalahkan kami dengan speakernya, kami pun diam. Memang kharisma seorang Kiai Abah Ma’ruf Shidiq benar benar luar biasa. Sudah belasan Negara berbeda beliau kunjungi. Perjalanan beliau dalam mencari ilmu juga luar biasa dan penuh perjuangan. Mengayuh sepeda berjarak belasan kilometer sejak masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah beliau lakukan hingga beliau akhirnya mondok di Madrasah Qudsiyah, sebuah nama pondok besar yang cukup dikenal oleh orang orang kudus.
Selang beberapa tahun Lulus dari pondok dan menyandang gelar Al-Hafidz, beliau kemudian melanjutkan studinya di mesir melalui beasiswa DEPAG. MTs. Assalam pun dibangun setelah Abah kembali ke Indonesia. Mungkin karena latar belakang pondok pesantrennya dulu beliau sekarang ingin memuliakan ustadz ustadz lulusan pesantren. Tidak heran, sekolahku banyak sekali guru guru alumni pesantren bahkan sebagian besar dari mereka tidak bergelar sarjana. Malah ada yang tidak lulus SD. Namun jangan Tanya soal capabilitas dan kualitasnya, Sarjana Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pun belum tentu bisa sehebat mereka.
Akhirnya kami semua disuruh Abah untuk berwudhu, persiapan sujud syukur. Wudhu kan termasuk Syarat Sujud Syukur selain menghadap kiblat dan suci dari hadats besar dan kecil.  Kami semua menuju tempat wudhu masing-masing. Tulisan Faucet kosa kata bahasa inggris yang berarti keran masih betah diam disitu, diatasnya ada Mufrodat Bahasa Arab صنبور yang mempunyai arti sama. Kedua kata tersebut menempel pada tembok diatas keran. Hampir semua properti madrasah memang dihias sedemikian rupa. Saya masih ingat pertama kali saya melihat tulisan tulisan ini adalah ketika mau mendaftar sebagai siswa MTs Assalam, saat itu juga sore-sore. Tapi bedanya sore ini aku tidak bersama Bapak, sudah 2 tahun lebih aku tidak bersamanya. “Ting, mau ngelanjutin dimana”? Nita bertanya dari belakang,  mendengar panggilan itu semakin mantap rasanya saya mau meninggalkan sekolah ini. Pura-pura tidak mendengar saya mulai berkumur, dan kemudian membaca niat sambil melakukan rukun kedua dalam wudhu, yaitu membasuh wajah. Si Nita terus berkicau “Hey, ting, ditanya kok diam aja, habis lulus mau lanjutin di sekolah mana”? Walaupun sudah dari SD dulu aku biasa dipanggil seperti itu, tapi tetap sakit rasanya. Mungkin ia tidak tahu kalau hal itu sangat menyakitiku. Aku cuek, meneruskan wudhuku, dan tidak menggubris sama sekali pertanyaannya. Bukankah dalam wudhu dimakruhkan berbicara, kan?
Setelah masuk masjid kuhadapkan wajahku ke arah kiblat, kulantunkan niat                      “نويت سجدة الشكر لله تعالى” (Nawaitu Sajdatasyukri lillahi ta’ala) kemudian aku mulai berlutut. Kubenamkan wajahku diatas keramik putih. Lama mataku terpejam, dengan khas hidung ini mengenali keramik masjid. Dahi ini terasa dingin menempel pada lantai Masjid Assalam, dingin menjadi semakin dingin tatkala tanpa ku sadari butir butir air mata jatuh dan sebagian membasahi pipi. Diluar kontrol, bak sebuah DVD, otakku memutar momen-momen menyakitkan yang pernah terekam dalam berlalunya waktu. Panggilan “kepiting” kepadaku oleh teman teman sebaya semasa Sekolah Dasar masih tergambar jelas dalam video yang terus memutar memori memori masa lalu. Kemudian otak ini mulai dipenuhi dengan pertanyaan pertanyaan konyol. Dalam hati aku mulai berani bertanya, kenapa Engkau ciptakan aku dengan keadaan jari seperti ini ya Allah? Kenapa Bapak belum memberikan kabar semenjak kepergiannya ke Malaysia 2,5 tahun lalu? Kenapa aku begitu berbeda dengan yang lain ya Allah?
Sore itu, aku menangis tersedu ketika teman teman mengekspresikan rasa syukur mereka dengan sujud penuh khidmat, aku sendirian dalam sujudku mencoba untuk protes dan memberitahu Tuhan bahwa semua hal yang terjadi pada saya tidaklah adil. Masih sesenggukan dalam posisi sujud, hingga kurasakan ada seseorang yang datang. Dia mengusap pundakku. Kuangkat kepalaku, dan mulai mencari sosok tersebut yang ternyata dibelakang. samar samar karena tertutupi air bening yang terus keluar dari mata ini kulihat Arini, kemudian dia melapangkan tangannya dan memelukku.
Usai pengambilan surat tersebut Arini menemaniku berjalan menuju warung Mak Paring, tempat yang biasa kami gunakan untuk menunggu Bus ketika mau pulang. Di jalanan sekitar sudah tampak sepi dari anak-anak yang tadi mengambil surat kelulusan di Masjid. “Bilang saja padanya Nid, kalau kamu tu tidak suka dipanggil seperti itu” Desak Arini, sementara aku diam dan sesekali menoleh padanya. Hanya suara langkah sepatuku yang bersaing dengan bunyi tak-tuk suara sepatu Arini yang seolah saling berbicara. “Alasan karena kebiasaan sewaktu kecil bukanlah sesuatu yang logis untuk diterima. Aku sendiripun juga pasti akan sangat marah kalau dipanggil dengan nama seperti itu, wong nama bagus-bagus Nidya Anggraini kok diganti kepiting” Arini terus berusaha menghiburku. Dalam pikiranku timbul sebuah pertanyaan apakah saya memang layak dipanggil jari kepiting?
Sore menjelang Maghrib aku sampai di rumah. “Assalamualaikum” “Wa’alaikumsalam, gimana nduk lulus to?” Tanya Ibu sambil menutup buku yang dari tadi beliau baca dan kemudian berjalan kepadaku. “Iya Buk, Alhamdulillah” Jawabku.  “Alhamdulillah, tidak sia-sia sepanjang malam kamu belajar nduk, lah dapat peringkat berapa, pertama lagi kah kayak di kelas dua?” Ibuk bertanya sambil mengusap-usap rambutku. “Belum dikasih tahu sama guru Buk, wong nilainya saja belum tahu, cuma surat pemberitahuan kelulusan. Buk, Nidya ingin bertanya, boleh? Ini tentang pertanyaan yang kemarin Buk” Ibu cepat mendekat dan memeluk erat diriku. Hangat, damai, dan tenang kurasakan, “Nduk, tidak usah percaya apa yang dikatakan Ibunya Arini, tidak ada hubungannya antara Bapak membunuh yuyu dengan itu semua. Itu murni adalah ketetapan Allah nduk. Segala ketetapan Allah itu pasti yang terbaik untuk manusia”. “Tapi tidak hanya Ibunya Arini Buk, hampir semua tetangga disini bilang seperti itu” Balasku tak mau kalah.
Dalam hati aku berpikir kalau jari-jari tangan kanan yang hanya berjumlah 3 buah adalah karena Bapak membunuh yuyu lebih dapat kuterima dari pada apa yang dikatakan dokter yang membuat istilah sulit, Braki-braki atau apalah, lupa namanya. Setidaknya aku merasa cukup puas dengan melemparkan semua kesalahan itu ke Bapak yang pergi entah kemana. Allahuakbar Allahuakbar…. Berkumandang Adzan maghrib… “Kita ke masjid dulu saja yuk nduk, sholat!” ajak Ibuk yang mulai tidak ingin melanjutkan perdebatan ini.
Malam itu pertanyaanku tidak terjawab oleh Ibuk, lagi. Ibuk terlihat lebih sibuk dengan begitu banyak ketas kertas administrasi sekolah. Berbeda dari dari malam malam sebelumnya, hal ini membuatku enggan mengganggu konsentrasi pekerjaannya. Di dalam kamar aku memantapkan kembali niatku untuk pergi sejauh mungkin dari lingkungan rumah dan sekolahku. Sesuai dengan rencana awalku. Aku mulai tersenyum sendiri di dalam kamar membayangkan hal-hal indah dalam hidupku, ketika aku akan berada dalam lingkungan dimana tak ada orang yang mengenalku sebagai penderita Brakidaktil dan aku dianggap sebagai seseorang yang normal. Malam ini, kurebahkan tubuhku diatas spring bed empuk. Kupejamkan  mataku, kurasakan nyaman yang begitu nikmat, seolah proses refreshing sedang dilakukan dalam tubuh ini. Satu dua kali aku menguap, dalam hati berkata semua akan berubah ketika bangun nanti.
(Dua Bulan Kemudian)
Hari Jum’at ini  menggenapi 4 mingguku bersekolah di MAN 2 Kudus. Tidak ada sosok Ibuk yang selalu menyiapkan apa yang aku butuhkan, masak sendiri, mencuci sendiri, tidur sendiri, pokoknya melakukan semuanya sendirian. Hidup sebagai anak kost memang seperti itu. Aku memilih Madrasah Aliyah tersebut adalah karena memang tidak ada teman-teman yang dulu pernah aku kenal melanjutkan belajar di sekolah ku sekarang ini. Arini Wulandari, sahabat dekatku, sekarang mondok di Jepara, mendalami Al-Qur’an dan Bahasa Arab. Ahmad Munggis, laki-laki tulen purwodadi yang dulu salah ketika sujud syukur, pergi ke Kalimantan ikut Ayah dan Ibunya yang bekerja disana.
Lingkungan yang mengelilingiku sekarang benar-benar baru, mulai dari teman, guru, dan tetangga, begitupun juga dengan aktivitasku. Sejak aku masuk SMA N 1 Kudus, sekitar 30 hari lebih aku selalu memakai sarung tangan bermata dua. Hal itu cukup efektif untuk menutupi jari kepitingku yang berbeda dengan orang normal lain. Tak ada yang pernah menanyakan kenapa sarung tangan bermata dua selalu menempel di kedua tanganku. Cuma kadang ada yang heran melihatku menulis menggunakan tangan kiri. Mungkin mereka mengira aku kidal. Terserahlah, yang penting bukan Jari Kepiting. Aku merasakan menjadi seorang yang normal sekarang. Alangkah indahnya hidup ini. Akan terus kunikmati hidup baruku ini. Semoga semua berjalan indah.
“Sebelum pulang, sholat Dzuhur berjama’ah di masjid sekolah dulu yuk Nid”? Ajak Santi, teman sebangkuku. “Maaf, tapi…” belum sempat  kalimatku selesai Santi sudah berseru lagi “Alah, sekali-kali dong, masak ada gak bisa terus…” “beneran aku tidak bisa San, ada banyak pekerjaan di kost,” sanggahanku.  “Ya udah kami bantu deh, habis sholat nanti kita berdua main ke kostmu plus bantu pekerjaan-pekerjaanmu itu” Ani malah ikut-ikutan. Aku mulai bingung, disisi lain harus menemukan alasan dengan cepat dan masuk akal untuk menghindari ajakan mereka. Tak boleh ada yang tahu lagi kalo dibalik sarung tangan ini adalah sebuah aib yang besar dalam hidupku. Akhirnya tanpa ku duga-duga suara ringtone “InsyaAllah” oleh Maher Zaen berbunyi dari HPku, menandakan bahwa ada yang seseorang yang menelfon. “Alhamdulillah, thanks God for saving me” Kataku dalam hati. “Sebentar ya, malah Ibuk nelfon nih”
Ibuk: Assalamualaikum, gimana kabarnya? Kapan kamu pulang? Besok tanggal merah to? Pulang ya nduk!”
Aku: Wa’alaikumsalam, Pertanyaannya seperti polisi Buk, hehe, ini mau pulang, Alhamdulillah baik, lah Ibuk sendiri gimana? InsyaAllah Nidya pulang siang ini.
Ibuk: Oalah, lah kok tidak bilang-bilang to, kan bisa Ibuk jemput. Alhamdulillah disini Ibuk sehat kok, Bu Inah juga sehat, kangen sama kamu katanya.
Aku: Mau pulang sendiri Buk, kan mau latihan mandiri. Iya, salam juga buat Bu Inah, lupa malah aku.
Ibuk: Lah disana betah to? Sudah punya temen baru belum? Pelajarannya gimana?
Aku: Yah Buk, kan sudah tak jawab semua itu kemarin-kemarin pas sms-an. Lah Arini gimana Buk?
Ibuk: Hehehe, Arini belum pulang sejak berangkat ke Jepara. Kamu sering kontak-kontakan sama dia kan?
Aku: Enggak Buk, eh Buk, ni aku ditungguin temen-temenku (bisikku lirih di HP).
Ibuk: Hmm ya sudah, Ibuk nanti tunggu di rumah ya, hati hati ya nduk,,
Aku: Iya Buk, Assalamulaikum…
Ibuk: Wa’alikumsalamwarahmatullaiwabarakatuh...
Pembicaraan saya akhiri dan telefon saya masukkan saku. Kulihat 2 perempuan tadi masih setia menunggu. “Maaf ya, Ibuk malah nyuruh pulang”. “Yaudah Nid, Hati-hati! Kapan kapan juga gak apa apa main ke kostmu” Kata Ani, “and salam aja ya buat keluarga dirumah!” diikuti santi, “Oke, sip deh,” balasku diikuti gesture tangan dengan jempol keatas.
Hari demi hari yang kulalui terasa semakin indah dan berwarna di lingkungan baruku. Bahkan sekarang aku sudah semakin akrab dengan Ani dan Santi. Saking akrabnya, kami selalu pergi bertiga bersama-sama, ke kantin, perpus, supermarket, dan tempat-tempat favorit lain. Pernah Ani bertanya mengenai sarung tangan yang selalu melekat pada tanganku, kujawab saja “Aku alergi”.
Suatu hari, peristiwa yang tak pernah kuduga sama sekali terjadi. Pelajaran Sejarah dari pak Suyanto adalah waktu yang sangat sia-sia jika tidak digunakan untuk tidur, bagaimana tidak? gurunya cuma nyuruh murid mencatat kemudian duduk manis di kursi sambil buka buku, emang gak salah kan? Tanpa kusadari ada seseorang yang menarik lepas perlahan-lahan sarung tanganku. Saat aku bangun sarung tangan kananku telah terlepas dan kulihat keterkejutan dari Santi dan Ani. Aku tidak tahu harus berbuat apa, takut, marah, dan malu bercampur jadi satu. Kubereskan semua barang barangku secepat mungkin dan langsung aku meninggalkan kelas. Semua teman-teman keheranan melihat tingkahku yang tiba-tiba. Aku sempat menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju mataku. Bersamaan dengan terus menerusnya air mata yang mengalir jatuh aku keluar berlari secepat dan sejauh mungkin mungkin yang aku bisa. Sebentar sempat kudengar suara Santi dan Ani yang memanggil-manggil. Telinga ini berpura-pura tak mendengar dan kaki ini terus berlari. Luka-luka masa lalu mulai terkuak lagi.
Gambaran seorang anak kecil yang sering diejek jari kepiting. Seorang anak yang hanya bisa melihat teman-temannya bermain kasti dan bersepeda ria. Karena jangankan memegang Stick kasti, memegang setang sepeda saja tiga jari pendek ini tidak bisa. Begitupun juga dengan menulis, ku membutuhkan waktu yang lamanya diatas normal untuk berlatih menulis, karena memang menulis menggunakan tangan kiri bukan hal mudah bagiku. Siang itu aku putuskan untuk pulang ke rumah. Air mata terus mengalir sepanjang perjalanan pulang.
(Sampai di rumah)
Dunia kembali terasa nyaman ketika aku memeluk Ibuk. Ku hiraukan pertanyaannya dengan tangisanku yang seolah tiada henti. Namun beliau tak menyerah. Dan akhirnya kuceritakan semuanya. “Aku sudah tidak mau sekolah lagi Buk, malu.... Aku ini seorang gadis yang tidak normal Buk, tidak normal! Kenapa Tuhan begitu tidak adil Buk? Kenapa banyak para pencuri di dunia ini dikasih tangan yang normal, padahal dia gunakan untuk mencuri? Banyak para pembunuh diberikan keleluasaan untuk memegang pistol? Kenapa Buk? Sedangkan saya bahkan makan saja harus menggunakan tangan kiri? Apakah saya ini lebih rendah dari pencuri dan pembunuh”? “Sudah Nduk, sudah, tidak perlu lagi dilanjuktan ceritanya, masih ada Ibuk Nduk, kamu tidak sendirian, ada Ibuk yang selalu menemanimu!” Ibuk menenangkanku kemudian memberikanku segelas air. Ku tenggak habis semua air di gelas. Segar kurasakan air mulai mengalir masuk ke tenggorokan, membuatku lebih baik. “Nduk, besok Ibuk ajak ke rumah temen Ibuk, ada seseorang yang Ibuk ingin kamu temui”. Malam itu Ibuk menuntunku ke tempat tidur, kemudian kami tidur bersama.
Pagi-pagi sekali Ibuk mengajaku pergi ke kabupaten tetangga, yaitu Pati. Mobil Ibuk melewati gapura besar bertuliskan “Pati Bumi Mina Tani”. Selain menandakan kalau sudah sampai di Pati, perjalanan ke kabupaten ini juga adalah yang pertama bagiku. Otakku terus bertanya-tanya mau kemana sebenarnya Ibuk membawaku. Kurang lebih 2,5 jam akhirnya kami sampai di desa Guyangan kecamatan Winong Kabupaten Pati. Ibuk berhenti di sebuah rumah yang cukup besar bercat putih.
Kita masih di depan rumah dan Ibuk masih sibuk membunyikan bel masuk. “Hewiting, hewiting, hewiting…” Apa? Samar samar kudengar ada yang memanggil-manggil kepiting. Beruntungnya ada sebuah jeruk jatuh dari pohon menggelinding kearahku, dengan kecepatan kilat kuambil jeruk dan sekuat tenagaku menggunakan tangan kiri kulemparkan jeruk kearah datangnya suara. Dan sebuah jeruk sukses mendarat di kepala seorang pemuda. “auh hei, awha hang au lhauan?” dia bicara tidak jelas. “heawha au mehewarhu”? “Ternyata dia tidak bisa bicara” kagetku dalam hati. Dia semakin mendekat. “Kenapa mengejekku”? tanyaku penuh selidik, “Awha wwhauwu?” dia malah balik bertanya, tiba tiba Ibuk bicara “ Nidya stop,, ini Faiz anaknya teman Ibuk, dia tidak mengenalmu sebelumnya, bagaimana mungkin dia menghinamu, lihat apa yang dia bawa” Kulihat tangan kanannya memegang seikat kepiting dan oh akhirnya aku sadar. “Maaf, maaf, mohon maaf sekali, saya kira kamu Adik kelasku dari MTs dulu, aku tidak bermaksud menyakitimu, sekali lagi maaf ya,”? mohonku sambil berulang ulang membunggkukkan tubuh. “Hapapa, akhu haik haik aja” itu adalah pengalaman pertama dalam hidupku berbicara dengan orang seperti itu. Aneh rasanya, ada ketukan-ketukan kecil kurasaakan dalam hati. Seolah mau mengungkapkan sesuatu. Yang kurasakan saat itu adalah perasaan lega dan ketukan-ketukan itu”
“Hilahan mahuk!...” Pemuda yang kata Ibuk bernama Faiz mempersilahkan masuk,
Astaghfirullahaladzim… kali itu aku mengangis. Bukan tangisan-tangisan seperti sebelumnya yang disebutkan diatas. Ini adalah tangis syukurku kepada Allah atas nikmat yang begitu besar dalam diriku. Di depanku kulihat anak anak dengan berbagai keterbatasan mereka. Seorang anak kecil buta yang duduk sendirian asyik membaca dengan tangan meraba-raba kertas bertitik-titik, simbol huruf Braille. Durhakanya diriku ya Allah, engkau masih memberiku kedua mata yang lengkap. Masih bisa kunikmati segala ciptaanMu dengan mata ini. Sementara anak laki-laki buta itu, bahkan harus menggunakan tangannya untuk membaca? Coba lihat siapa yang normal? Gadis yang duduk di kursi roda lantang berteriak “Mas faiz bawa kepiting!!!” dengan tangannya dia mendorong roda di kursinya dan melihat denan dekat kepiting yang dibawa Faiz. Teman-temannya yang lain menyusul.
Ada sekitar 15 anak dengan keterbatasan yang berbeda-beda. Mereka semua bermain dan beraktivitas seolah dunia adalah milik mereka. Tidak ada kepedihan, rasa putus asa, dan kesendirian dalam diri mereka. Yang bisa kutafsirkan dari mereka adalah kebahagiaan karena masih diberikan kesempatan untuk menikmati nikmatnya bernafas, nikmatnya kebersamaan, dan nikmatnya hidup. Astahgfirullahaladzim… bukankah dulu Abah pernah menyampaikan sebuah Hadits Undzuru ila man asfala minkum wa la tandzuru ila man fauqakum, fainnahu ajdaru an la tazdaru ni’matallahi alaikum.( Lihatlah kondisi orang yang martabatnya di bawah kalian, jangan sebaliknya, melihat orang yang derajatnya di atas kalian. Yang sedemikian itu lebih layak, agar kalian tidak merendahkan kenikmatan Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian). Apa yang membuatku jadi pelupa seperti ini? Ampuni aku ya Allah yang telah durhaka ini. Aku sekarang tahu maksud Ibuk membawaku kemari. Terima kasih Buk. Sekarang sudut pandangku sudah berubah total. 

Aku teringat pada Pak Hamid, sang guru Bahasa Inggris, juga sering menceritakan kisah kisah inspiratif. Yang masih teringat adalah lahirnya huruf Braille dari seorang yang buta dan Alexander Geraham Bell, sang penemu telegram, dulunya juga seorang yang tuli. Tidak ada alasan bagiku untuk berputus asa dan tidak syukur padaMu ya Allah… Aku sadar bahwa hanya sedikit orang yang bisa menulis dengan tangan kiri, tapi aku bisa, dan itu luar biasa. Aku juga sadar bahwa tidak bisa memegang stick permainan kasti membuatku punya waktu luang lebih untuk belajar sehingga sering mendapatkan juara kelas. Terima kasih ya Allah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya terjawab, dan ternyata ketukan ketukan sedari tadi adalah ini. Pagi menjelang siang itu, aku berlari mengambil air Wudhu, kemudian ku lakukan Sujud Syukur sekali lagi. Mengganti sujud syukur yang belum sempurna beberapa bulan silam. Terima kasih ya Allah, aku benar benar sadar sekarang kalau tidak normal itu bukanlah aib sebaliknya tidak normal itu adalah sebuah keistimewaan.